Kamis, 04 September 2008

BERTAFAKUR DENGAN ASTRO FISIKA

Disusun dan Diedit oleh:
Arip Nurahman
Department of Physics Education, Faculty of Sciences and Mathematics
Indonesia University of Education

Abstract
Astrophysics is the branch of astronomy that deals with the physics of the universe, including the physical properties (luminosity, density, temperature, and chemical composition) of celestial objects such as stars, galaxies, and the interstellar medium, as well as their interactions. The study of cosmology is theoretical astrophysics at scales much larger than the size of particular gravitationally-bound objects in the universe.
Because astrophysics is a very broad subject, astrophysicists typically apply many disciplines of physics, including mechanics, electromagnetism, statistical mechanics, thermodynamics, quantum mechanics, relativity, nuclear and particle physics, and atomic and molecular physics. In practice, modern astronomical research involves a substantial amount of physics. The name of a university's department ("astrophysics" or "astronomy") often has to do more with the department's history than with the contents of the programs. Astrophysics can be studied at the bachelors, masters, and Ph.D. levels in aerospace engineering, physics, or astronomy departments at many universities.
Contents
Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka?. Siapa yang memberikan perintah ? (Andre Linde, Profesor Kosmologi).
Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan para ahli astronomi. Alasannya adalah penerimaan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan beranggapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mempunyai awal.
Tidak ada momen "penciptaan", yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul. Gagasan "keberadaan abadi" ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno. Filsuf Jerman, Immanuel Kant adalah orang pertama yang mengajukan pernyataan "alam semesta tanpa batas" pada Zaman Baru. Tetapi penemuan ilmiah menggugurkan pernyataan Kant. Immanuel Kant-lah yang pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mustahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal - bahwa tidak pernah ada momen ketika jagat raya diciptakan - secara luas diterima. Pandangan ini dibawa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis dialektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.
Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan ateisme. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa "alam semesta ada selamanya", meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apa pun untuk membuat klaim seperti itu.
Georges Politzer, yang mendukung dan mempertahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxisme dan Materialisme. Dengan mempercayai kebenaran model "jagat raya tanpa batas", Politzer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de Philosophie ketika dia menulis
: Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan.
Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains. Politzer menganggap sains berada di pihaknya dalam pembelaannya terhadap gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya sungguh-sungguh mempunyai permulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri, jika ada penciptaan maka harus ada penciptanya.
Pengembangan Alam Semesta dan Penemuan Dentuman Besar Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan astronomi modern. Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun mungkin cukup untuk menyebabkan struktur keseluruhan mengembang atau mengerut menurut Teori Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari apa arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia, Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari "sesuatu" itu. Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta mengembang.
Pada akhirnya dia menemukan bukti "Ledakan Besar", peristiwa besar yang penemuannya memaksa ilmuwan meninggalkan anggapan alam semesta tanpa batas dan abadi. Pemikiran teoretis kedua ilmuwan ini tidak menarik banyak perhatian dan barangkali akan terabaikan kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan dunia ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya, dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum, dan bahwa pergeseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang dari bumi.
Penemuan ini mengguncangkan landasan model alam semesta yang dipercaya saat itu. Menurut aturan fisika yang diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik observasi cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik observasi cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita.
Tidak lama kemudian, Hubble membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi; mereka juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diturunkan dari alam semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah bahwa alam semesta dengan konstan "mengembang". Hubble menemukan buktipengamatan untuk sesuatu yang telah "diramalkan" George Lamaitre sebelumnya, dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini hampir lima belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan berdasarkan teori relativitas yang baru di temukannya (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan "konstanta kosmologis" pada persamaannya agar muncul "jawaban yang benar", karena para ahli astronomi meyakinkan dia bahwa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persamaannya sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya.
Penemuan Hubble bahwa alam semesta mengembang memunculkan model lain yang tidak membutuhkan tipuan untuk menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam semesta semakin kecil; dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan mengerut dan bertemu pada satu titik. Kesimpulan yang harus diturunkan dari model ini adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa satu titik yang mempunyai "volume nol" karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini mendapat sebutan "Dentuman Besar" dan keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan dengan bukti pengamatan.
Ada kebenaran lain yang ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu "tidak ada". Seluruh alam semesta diciptakan dari "ketidakadaan" ini. Dan lebih jauh, alam semesta mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengatakan bahwa "alam semesta sudah ada selamanya". Hipotesis "Keadaan-Stabil" Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, "Secara filosofis, pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku". Ahli astronomi lain yang menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle. Sekitar pertengahan abad ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya "keadaan-stabil", yang tak lebih suatu perpanjangan gagasan abad ke-19 tentang alam semesta tanpa batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat raya mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru terus-menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam semesta tetap berada dalam "keadaan-stabil". Dengan satu tujuan jelas mendukung dogma "materi sudah ada sejak waktu tak terbatas", yang merupakan basis filsafat materialis, teori ini mutlak bertentangan dengan "teori Dentuman Besar", yang menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan.
Pendukung teori keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang Dentuman Besar selama bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka. Kemenangan Dentuman Besar Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah ledakan besar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang ditinggalkan dari ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih jauh, harus sama di seluruh alam semesta. Pernyataan Sir Arthur Eddington bahwa "pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku," adalah pengakuan bahwa Ledakan Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan materialis.
Dalam dua dekade, bukti pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965, dua peneliti bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang selama ini tidak teramati. Disebut "radiasi latar belakang kosmik", radiasi ini tidak seperti apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih, radiasi ini tersebar merata di seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang masih menggema balik sejak momen pertama ledakan besar tersebut. Gamov telah mengamati bahwa frekuensi radiasi hampir mempunyai nilai yang sama dengan yang telah diperkirakan oleh para ilmuwan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadiah Nobel untuk penemuan mereka. Pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke luar angkasa. Sebuah instrumen sensitif yang disebut "Cosmic Background Emission Explorer" (COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson.
Hasil ini secara pasti menunjukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang menghasilkan alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap sisa-sisa Dentuman Besar. Radiasi Latar Belakang Kosmik yang ditemukan oleh Penzias dan Wilson dianggap sebagai bukti Ledakan Besar yang tak terbantahkan oleh dunia ilmiah. Ada lagi bukti-bukti yang muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya berhubungan dengan jumlah relatif hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan menunjukkan bahwa campuran kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan teoretis dari apa yang seharusnya tersisa setelah Dentuman Besar.
Bukti itu memberikan tusukan lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya dan tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium. Dihadapkan pada bukti seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia ilmiah nyaris sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan lainnya. Setelah mempertahankan teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama menggambarkan dilemma mereka di hadapan bukti Dentuman Besar. Dia berkata bahwa semula dia mendukung Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui bahwa pertempuran telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.
Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan ? Dengan kemenangan Dentuman Besar, tesis "alam semestatanpa batas", yang membentuk basis bagi dogma materialis, dibuang ke tumpukan sampah sejarah. Namun bagi materialis, muncul pula dua pertanyaan yang tidak mengenakkan : Apa yang sudah ada sebelum Dentuman Besar ?. Dan kekuatan apa yang telah menyebabkan Dentuman Besar sehingga memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya ?. Materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dapat mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai.
Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini :
“Jelas sekali, pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan mengakui bahwa penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis dewasa ini. Karena tampaknya para ahli kosmologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap tidak hanya tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk mendesak bahwa keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi ciri-cirinya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir. Meskipun saya mempercayai bahwa teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar. “
Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala dimensi fisik, sebagai :
“Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ruang-waktu, maka sebab alam semesta haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir lebih dulu daripada dimensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalamalam semesta. Penolakan terhadap Penciptaan dan Mengapa Teori-Teori Itu Bercacat Sangat jelas bahwa Dentuman Besar berarti penciptaan alam semesta dari ketiadaan dan ini pasti bukti keberadaan pencipta yang berkehendak.”
Mengenai fakta ini, beberapa ahli astronomi dan fisika materialis telah mencoba mengemukakan penjelasan alternative untuk membantah kenyataan ini. Rujukan sudah dibuat dari teori keadaan-stabil dan ditunjukkan ke mana kaitannya, oleh mereka yang tidak merasa nyaman dengan pendapat "penciptaan dari ketiadaan" meskipun bukti berbicara lain, sebagai usaha mempertahankan filsafat mereka. Ada pula sejumlah model yang telah dikemukakan oleh materialis yang menerima teori Dentuman Besar namun mencoba melepaskannya dari gagasan penciptaan. Salah satunya adalah model alam semesta "berosilasi"; dan yang lainnya adalah "model alam semesta kuantum". Mari kita kaji teori-teori ini dan melihat mengapa keduanya tidak berdasar. Model alam semesta berosilasi dikemukakan oleh para ahli astronomi yang tidak menyukai gagasan bahwa Dentuman Besar adalah permulaan alam semesta. Dalam model ini, dinyatakan bahwa pengembangan alam semesta sekarang ini pada akhirnya akan membalik pada suatu waktu dan mulai mengerut.
Pengerutan ini akan menyebabkan segala sesuatu runtuh ke dalam satu titik tunggal yang kemudian akan meledak lagi, memulai pengembangan babak baru. Proses ini, kata mereka, berulang dalam waktu tak terbatas.
Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta sudah mengalami transformasi ini tak terhingga kali dan akan terus demikian selamanya. Dengan kata lain, alam semesta ada selamanya namun mengembang dan runtuh pada interval berbeda dengan ledakan besar menandai setiap siklusnya. Alam semesta tempat kita tinggal merupakan salah satu alam semesta tanpa batas itu yang sedang melalui siklus yang sama. Ini tak lebih dari usaha lemah untuk menyelaraskan fakta Dentuman Besar terhadap pandangan tentang alam semesta tanpa batas. Skenario tersebut tidak didukung oleh hasil-hasil riset ilmiah selama 15-20 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa alam semesta yang berosilasi seperti itu tidak mungkin terjadi. Lebih jauh, hukum-hukum fisika tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengerut harus meledak lagi setelah runtuh ke dalam satu titik tunggal :
ia harus tetap seperti apa adanya. Hukum-hukum fisika juga tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengembang harus mulai mengerut lagi.
Bahkan kalaupun kita menerima bahwa mekanisme yang membuat siklus mengerut-meledak-mengembang ini benar-benar ada, satu hal penting adalah bahwa siklus ini tidak bisa berlanjut selamanya, seperti anggapan mereka. Perhitungan untuk model ini menunjukkan bahwa setiap alam semesta akan mentransfer sejumlah entropi kepada alam semesta berikutnya. Dengan kata lain, jumlah energi berguna yang tersedia menjadi berkurang setiap kali, dan setiap alam semesta akan terbuka lebih lambat dan mempunyai diameter lebih besar. Ini akan menyebabkan alam semesta yang terbentuk pada babak berikutnya menjadi lebih kecil dan begitulah seterusnya, sampai pada akhirnya menghilang menjadi ketiadaan.
Bahkan jika alam semesta "buka dan tutup" ini dapat terjadi, mereka tidak bertahan selamanya. Pada satu titik, akan diperlukan "sesuatu" untuk diciptakan dari "ketiadaan". Singkatnya, model alam semesta "berosilasi" merupakan fantasi tanpa harapan yang realitas fisiknya tidak mungkin. "Model alam semesta kuantum" adalah usaha lain untuk membersihkan teori Dentuman Besar dari implikasi penciptaannya. Pendukung model ini mendasarkannya pada observasi fisika kuantum (subatomik). Dalam fisika kuantum, diamati bahwa partikel-partikel subatomik muncul dan menghilang secara spontan dalam ruang hampa. Menginterpretasikan pengamatan ini sebagai "materi dapat muncul pada tingkat kuantum, ini merupakan sebuah sifat yang berkenaan dengan materi", beberapa ahli fisika mencoba menjelaskan asal materi dari ketiadaan selama penciptaan alam semesta sebagai "sifat yang berkenaan dengan materi" dan menyatakannya sebagai bagian dari hukum-hukum alam.
Dalam model ini, alam semesta kita diinterpretasikan sebagai partikel subatomik di dalam partikel yang lebih besar. Akan tetapi, silogisme ini sama sekali tidak mungkin dan bagaimanapun tidak bisa menjelaskan bagaimana alam semesta terjadi. William Lane Craig, penulis The Big Bang : Theism and Atheism, menjelaskan alasannya : Ruang hampa mekanis kuantum yang menghasilkan partikel materi adalah jauh dari gagasan umum tentang "ruang hampa" (yang berarti tidak ada apa-apa). Melainkan, ruang hampa kuantum adalah lautan partikel yang terus-menerus terbentuk dan menghilang, yang meminjam energi dari ruang hampa untuk keberadaan mereka yang singkat. Ini bukan "ketiadaan", sehingga partikel materi tidak muncul dari "ketiadaan".
Jadi, dalam fisika kuantum, materi "tidak ada kalau sebelumnya tidak ada". Yang terjadi adalah bahwa energi lingkungan tiba-tiba menjadi materi dan tiba-tiba pula menghilang menjadi energi lagi. Singkatnya, tidak ada kondisi "keberadaan dari ketiadaan" seperti klaim mereka. Dalam fisika, tidak lebih sedikit daripada yang terdapat dalam cabang-cabang ilmu alam lain, terdapat ilmuwan-ilmuwan ateis yang tidak ragu menyamarkan kebenaran dengan mengabaikan titik-titik kritis dan detail-detail dalam usaha mereka mendukung pandangan materialis dan mencapai tujuan mereka. Bagi mereka, jauh lebih penting mempertahankan materialisme dan ateisme daripada mengungkapkan fakta-fakta dan kenyataan ilmiah.
Dihadapkan pada realitas yang disebutkan di atas, kebanyakan ilmuwan membuang model alam semesta kuantum. C.J Isham menjelaskan bahwa "model ini tidak diterima secara luas karena kesulitan-kesulitan yang dibawanya". Bahkan sebagian pencetus gagasan ini, seperti Brout dan Spindel, telah meninggalkannya.
Sebuah versi terbaru yang dipublikasikan lebih luas dari model alam semesta kuantum diajukan oleh ahli fisika, Stephen Hawking. Dalam bukunya, A Brief History of Time, Hawking menyatakan bahwa Dentuman Besar tidak harus berarti keberadaan dari ketiadaan. Alih-alih "tiada waktu" sebelum Dentuman Besar, Hawking mengajukan konsep "waktu imajiner". Menurut Hawking, hanya ada selang waktu imajiner 10-43 detik sebelum Dentuman Besar terjadi dan waktu "nyata" terbentuk setelah itu.
Harapan Hawking hanyalah untuk mengabaikan kenyataan "ketiadaan waktu" (timelessness) sebelum Dentuman Besar dengan gagasan waktu "imajiner" ini. Stephen Hawking juga mencoba mengajukan penjelasan berbeda untuk Ledakan Besar selain Penciptaan seperti yang dilakukan ilmuwan materialis lainnya dengan mengandalkan kontradiksi dan konsep keliru. Sebagai sebuah konsep, "waktu imajiner" sama saja dengan nol atau seperti "tidak ada"nya jumlah imajiner orang dalam ruangan atau jumlah imajiner mobil di jalan. Di sini Hawking hanya bermain dengan kata-kata. Dia menyatakan bahwa persamaan itu benar kalau mereka dihubungkan dengan waktu imajiner, namun kenyataannya ini tidak ada artinya. Ahli matematika, Sir Herbert Dingle, menyebut kemungkinan memalsukan hal-hal imajiner sebagai hal nyata dalam matematika sebagai :
Dalam bahasa matematika, kita bisa mengatakan kebohongan di samping kebenaran, dan dalam cakupan matematika sendiri, tidak ada cara yang mungkin untuk membedakan satu dengan lainnya. Kita dapat membedakan keduanya hanya dengan pengalaman atau dengan penalaran di luar matematika, yang diterapkan pada hubungan yang mungkin antara solusi matematika dan korelasi fisiknya. Singkatnya, solusi imajiner atau teoretis matematika tidak perlu mengandung konsekuensi benar atau nyata. Menggunakan sifat yang hanya dimiliki matematika, Hawking menghasilkan hipotesis yang tidak berkaitan dengan kenyataan. Namun apa alasan yang mendorongnya melakukan ini ?. Hawking mengakui bahwa dia lebih menyukai model alam semesta selain dari Dentuman Besar karena yang terakhir ini "mengisyaratkan penciptaan ilahiah", dan model-model seperti itu dirancang untuk ditentang. Semua ini menunjukkan bahwa model alternatif dari Dentuman Besar, seperti keadaan-stabil, model alam semesta berosilasi, dan model alam semesta kuantum, kenyataannya timbul dari prasangka filosofis materialis. Penemuan-penemuan ilmiah telah menunjukkan realitas Dentuman Besar dan bahkan dapat menjelaskan "keberadaan dari ketiadaan". Dan ini merupakan bukti sangat kuat bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah, satu hal yang mentah-mentah ditolak materialis.
Sebuah contoh penolakan Dentuman Besar bisa ditemukan dalam esai oleh John Maddox, editor majalah Nature (majalah materialis), yang muncul pada tahun 1989. Dalam "Down with the Big Bang", Maddox menyatakan Dentuman Besar tidak dapat diterima secara filosofis karena teori ini membantu teologis dengan menyediakan dukungan kuat untuk gagasan-gagasan mereka. Penulis itu juga meramalkan bahwa Dentuman Besar akan runtuh dan bahwa dukungan untuknya akan menghilang dalam satu dekade. Maddox hanya bisa merasa semakin resah karena penemuanpenemuan selama sepuluh tahun berikutnya memberikan bukti semakin kuat akan keberadaan Dentuman Besar.
Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini. Materialis Inggris, H.P. Lipson menerima kebenaran penciptaan, meskipun "tidak dengan senang hati", ketika dia berkata : Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul ?. Namun saya pikir, kita harus mengakui bahwa satu-satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya. Sebagai kesimpulan, kebenaran yang terungkap oleh ilmu alam adalah :
Materi dan waktu telah dimunculkan menjadi ada oleh pemilik kekuatan besar yang mandiri, oleh Pencipta. Allah, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kecerdasan mutlak, telah menciptakan alam semesta tempat tinggal kita.
Tanda-Tanda Al Quran Selain menjelaskan alam semesta, model Dentuman Besar mempunyai implikasi penting lain. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama. Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah. Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, disamping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.
Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut :
"Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu" (QS. Al An'aam, 6: 101).

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil :
"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman ?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30).

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini. Mari kita tinjau lagi ayat tersebut dengan pengetahuan ini di benak kita.
Dalam ayat itu, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Mereka dipisahkan (fatk) dengan satu muncul dari yang lainnya. Menariknya, para ahli kosmologi berbicara tentang "telur kosmik" yang mengandung semua materi di alam semesta sebelum Dentuman Besar.
Dengan kata lain, semua langit dan bumi terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur kosmik ini meledak dengan dahsyat menyebabkan materinya menjadi fatk dan dalam proses itu terciptalah struktur keseluruhan alam semesta.
Kebenaran lain yang terungkap dalam Al Quran adalah pengembangan jagat raya yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut :
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar mengembangkannya" (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47).
Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua itu "kebetulan", namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah yang diturunkan kepada kita. Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan ketepatan yang nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang ledakan di masa lalu, namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah. (Paul Davies, Profesor Fisika Teoretis) Dalam bab pertama, kita mempelajari penciptaan alam semesta dari ketiadaan sebagai hasil ledakan dahsyat. Mari kita kaji implikasi dari kenyataan ini. Para ilmuwan memperkirakan di seluruh alam semesta terdapat 300 miliar galaksi. Galaksi-galaksi ini memiliki beberapa bentuk berbeda (spiral, elips, dan lain-lain) dan masing-masing memiliki bintang kira-kira sebanyak jumlah galaksi di alam semesta. Salah satu bintang ini, Matahari, memiliki sembilan planet utama yang mengitarinya dalam keserasian yang luar biasa. Seluruh manusia hidup di planet ketiga dihitung dari matahari. Perhatikan sekitar Anda : Apakah yang Anda lihat tampak seperti sebaran materi yang berserakan tidak karuan ?. Tentu saja tidak. Namun, bagaimana materi membentuk galaksi-galaksi yang teratur seandainya materi itu tersebar secara acak ?. Mengapa materi berkumpul di satu titik dan membentuk bintang ?. Bagaimana keseimbangan yang begitu indah pada tata surya dapat muncul dari ledakan yang dahsyat ?. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting dan menuntun kita pada pertanyaan yang sesungguhnya yaitu bagaimana alam semesta tersusun setelah Dentuman Besar. Jika Dentuman Besar benar-benar ledakan yang maha menghancurkan, maka masuk akal untuk memperkirakan bahwa materi akan tersebar ke segala penjuru secara acak. Namun ternyata tidak demikian. Materi hasil Dentuman Besar tersusun menjadi planet, bintang, galaksi, kluster, dan superkluster. Seolah-olah sebuah bom meledak dalam lumbung dan menjadikan seluruh gandum terisikan ke dalam karung, dan tersusun rapi di atas truk, siap untuk dikirimkan, bukannya tersebar acak-acakan ke seluruh penjuru. Fred Hoyle, penentang setia teori Dentuman Besar, mengemukakan keterkejutannya sendiri akan keteraturan ini :
Teori Dentuman Besar menyatakan alam semesta dimulai dengan ledakan tunggal. Namun seperti terlihat pada bagian berikut, sebuah ledakan hanya akan membuat materi terlontar secara acak, namun Dentuman Besar secara misterius memberikan hasil berlawanan dengan materi terkumpul dalam bentuk galaksi-galaksi. Bahwa materi yang dihasilkan Dentuman Besar membentuk susunan yang begitu rapi dan teratur memang suatu hal yang luar biasa. Terbentuknya keserasian yang luar biasa tersebut menuntun kita kepada kenyataan bahwa alam semesta merupakan ciptaan sempurna Allah.

Closing
Ar-rahman; 18
Maka Nikmat Tuhan Manakah yang akan eungkau dustakan? (QS. 55:18)

Which then, of the favours of your Lord will you twain deny?

Ar-rahman; 33
Hai jamaah jin dan manusia,jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. (QS. 55:33)

'O Company of Jinn and men, if you can that you may go out of the boundaries of the heavens and the earth then do go. Wherever you will go, His is the Kingdom.

References
Harun Yahya (www.harunyahya.com)
Banjar Astro Physics Association (http://astrophysicsblogs.blogspot.com)

• ^ Lucio Russo, Flussi e riflussi, Feltrinelli, Milano, 2003, ISBN 88-07-10349-4.
• ^ Bartel Leendert van der Waerden (1987). "The Heliocentric System in Greek, Persian and Hindu Astronomy", Annals of the New York Academy of Sciences 500 (1), 525–545 [527].
• ^ Bartel Leendert van der Waerden (1987). "The Heliocentric System in Greek, Persian and Hindu Astronomy", Annals of the New York Academy of Sciences 500 (1), 525–545 [527-529].
• ^ B. L. van der Waerden (1970), Das heliozentrische System in der griechischen,persischen und indischen Astronomie, Naturforschenden Gesellschaft in Zürich, Zürich: Kommissionsverlag Leeman AG. (cf. Noel Swerdlow (June 1973), "Review: A Lost Monument of Indian Astronomy", Isis 64 (2), p. 239-243.)
B. L. van der Waerden (1987), "The heliocentric system in Greek, Persian, and Indian astronomy", in "From deferent to equant: a volume of studies in the history of science in the ancient and medieval near east in honor of E. S. Kennedy", New York Academy of Sciences 500, p. 525-546. (cf. Dennis Duke (2005), "The Equant in India: The Mathematical Basis of Ancient Indian Planetary Models", Archive for History of Exact Sciences 59, p. 563–576.).
• ^ Thurston, Hugh (1994), Early Astronomy, Springer-Verlag, New York. ISBN 0-387-94107-X, p. 188:
"Not only did Aryabhata believe that the earth rotates, but there are glimmerings in his system (and other similar systems) of a possible underlying theory in which the earth (and the planets) orbits the sun, rather than the sun orbiting the earth. The evidence is that the basic planetary periods are relative to the sun."
• ^ Lucio Russo (2004), The Forgotten Revolution: How Science Was Born in 300 BC and Why It Had To Be Reborn, Springer, Berlin, ISBN 978-3-540-20396-4. (cf. Dennis Duke (2005), "The Equant in India: The Mathematical Basis of Ancient Indian Planetary Models", Archive for History of Exact Sciences 59, p. 563–576.)
• ^ Bartel Leendert van der Waerden (1987). "The Heliocentric System in Greek, Persian and Hindu Astronomy", Annals of the New York Academy of Sciences 500 (1), 525–545 [534-537].
• ^ Saliba, George (1994a), "Early Arabic Critique of Ptolemaic Cosmology: A Ninth-Century Text on the Motion of the Celestial Spheres", Journal for the History of Astronomy 25: 115-141 [116]

2008 September 4 18:22

1 komentar:

E-Learning Kota Banjar mengatakan...

Searching the Ultimate Theories
Add & Edited by:
Arip Nurahman
Department of Physics
Indonesia University of Education

“-Banesh Hoffmann-“
"Berapa sering lagi kita harus mengagumi karya Tuhan yang luar biasa, yang menciptakan langit dan bumi dari sebuah hakikat primat dari sebuah rincian yang demikian indah sehingga dengannya Ia dapat menciptakan otak dan pikiran yang bernyala dengan berkah kemampuan meramal yang ilahiah untuk menerobos misteri ciptaan-Nya sendiri. Jika pikiran dari seorang Bohr atau Einstein membuat kita terkagum-kagum dengan kekuatannya, bagaimana kita mulai memuja keagungan Tuhan yang menciptakannya?"
Introduction
A theory of everything (TOE) is a putative theory of theoretical physics that fully explains and links together all known physical phenomena. Initially, the term was used with an ironic connotation to refer to various overgeneralized theories. For example, a great-grandfather of Ijon Tichy — a character from a cycle of Stanisław Lem's science fiction stories of 1960s — was known to work on the "General Theory of Everything". Physicist John Ellis claims[1] to have introduced the term into the technical literature in an article in Nature in 1986.[2] Over time, the term stuck in popularizations of quantum physics to describe a theory that would unify or explain through a single model the theories of all fundamental interactions of nature.
There have been many theories of everything proposed by theoretical physicists over the last century, but none have been confirmed experimentally. The primary problem in producing a TOE is that the accepted theories of quantum mechanics and general relativity are hard to combine.
Based on theoretical holographic principle arguments from the 1990s, many physicists believe that 11-dimensional M-theory, which is described in many sectors by matrix string theory, in many other sectors by perturbative string theory is the complete theory of everything. Other physicists disagree.


Reason in Revolt: Revolusi dalam Fisika

Alan Woods
Dua ribu tahun lalu, orang berpikir bahwa hukum-hukum jagad telah tercakup seluruhnya dalam geometrinya Euclides. Tidak ada sesuatupun yang dapat ditambahkan kepadanya. Ini adalah ilusi yang diderita tiap jaman. Untuk waktu yang panjang setelah wafatnya Newton, para ilmuwan berpikir bahwa ia telah menyatakan segala sesuatu yang perlu dikatakan tentang hukum-hukum alam. Laplace mengeluh bahwa hanya ada satu jagad, dan Newton telah mendapat berkah besar sehingga ia telah menemukan semua hukum yang mengaturnya. Selama dua ratus tahun teori Newton tentang sifat partikel dari cahaya diterima secara luas, dengan demikian menentang teori bahwa cahaya adalah gelombang, yang diajukan oleh fisikawan Belanda, Huygens. Kemudian teori cahaya sebagai partikel dinegasi oleh orang Perancis itu, A. J. Fresnel, yang teori gelombang cahayanya telah dikonfirmasi oleh percobaan J. B. L. Foucault. Newton telah meramalkan bahwa cahaya, yang berjalan dengan kecepatan 186.000 mil per detik (± 300.000 km/detik) di ruang hampa, seharusnya berjalan lebih cepat dalam air. Para pendukung teori gelombang cahaya meramalkan bahwa kecepatannya harusnya lebih rendah, dan percobaan membuktikan bahwa mereka benar.
Terobosan besar untuk teori gelombang dicapai oleh ilmuwan cemerlang dari Skotlandia James Clerk Maxwell, pada paruh kedua abad ke-19. Maxwell mendasarkan dirinya pada kerja eksperimental dari Michael Faraday, yang menemukan induksi elektromagnet, dan menyelidiki sifat-sifat magnet, dengan kedua kutubnya, utara dan selatan, yang melibatkan gaya-gaya tak kasat mata yang membentang di bumi dari ujung ke ujung. Maxwell memberi penemuan empirik ini satu bentuk universal dengan menerjemahkannya ke dalam persamaan matematika. Karyanya ini membimbing orang ke dalam penemuan medan, yang kemudian menjadi dasar Einstein untuk merumuskan teori relativitas umumnya. Satu generasi berdiri di atas bahu generasi sebelumnya, saling menegasi dan memelihara penemuan yang terdahulu, terus-menerus memeperdalamnya, dan memberinya bentuk-bentuk dan hakikat yang lebih umum.
Tujuh tahun setelah meninggalnya Maxwell, Hertz mendeteksi untuk pertama kalinya gelombang elektromagnetik yang diramalkan oleh Maxwell. Teori partikel, yang telah berkuasa sejak Newton, nampaknya dihantam hancur oleh elektromagnetika Maxwell. Sekali lagi para ilmuwan percaya bahwa mereka telah menggenggam satu teori yang akan dapat menjelaskan segala sesuatu. Hanya ada beberapa masalah yang masih harus dibereskan, dan kita akan segera mengetahui apa segala yang perlu diketahui tentang alam raya ini. Tentu saja, ada beberapa ketidakcocokan yang mengganggu, tapi nampaknya cukup kecil sehingga dapat diabaikan. Walau demikian, hanya beberapa dasawarsa kemudian, beberapa ketidakcocokan "kecil" ini terbukti cukup untuk menggulingkan seluruh struktur teori yang ada dan mendorong terjadinya revolusi ilmiah yang kuat.
Partikel atau Gelombang?
Semua orang tahu gelombang itu apa. Ia adalah hal umum yang dihubungkan dengan air. Seperti halnya gelombang dapat dihasilkan oleh seekor bebek yang bergerak di atas permukaan sebuah kolam, demikian pula sebuah partikel, misalnya sebuah elektron, dapat menyebabkan satu gelombang elektromagnetik, ketika ia bergerak melintasi ruang. Gerakan bergetar dari elektron mengganggu medan listrik dan magnet, menyebabkan gelombang menyebar secara kontinyu, seperti riak dalam kolam. Tentu saja analogi ini hanya mendekati saja. Ada perbedaan mendasar antara gelombang air dan gelombang elektromagnetik. Gelombang yang disebut terakhir ini tidak membutuhkan satu medium kontinyu yang harus dilaluinya dalam perjalanan, seperti air misalnya. Sebuah getaran elektromagnetik adalah satu gangguan periodik yang menjalarkan dirinya sendiri melalui struktur elektrik materi. Walau demikian, perbandingan itu dapat memberi penjelasan yang lebih terang.
Fakta bahwa kita tidak dapat melihat gelombang ini tidaklah berarti bahwa keberadaan mereka tidak dapat kita deteksi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita memiliki pengalaman langsung merasakan gelombang cahaya dan gelombang radio, bahkan sinar-X. Satu-satunya perbedaan antara mereka semua adalah pada frekuensinya. Kita tahu bahwa sebuah gelombang di air akan menyebabkan satu objek yang sedang mengapung terangkat naik-turun, lebih cepat atau lebih lambat, tergantung kekuatan gelombang itu sendiri - riak yang disebabkan oleh seekor bebek tentu jauh lebih lemah daripada yang disebabkan oleh sebuah kapal motor. Mirip dengan itu, osilasi elektron akan berbanding lurus dengan intensitas gelombang cahaya.
Persamaan Maxwell, yang telah didukung oleh Hertz dan lain-lain, menyediakan satu bukti yang kuat untuk mendukung teori bahwa cahaya merupakan gelombang, yang memiliki sifat-sifat elektromagnetik. Walau demikian, pada peralihan abad, orang mengumpulkan bukti-bukti bahwa teori inipun keliru. Di tahun 1900 Max Planck telah menunjukkan bahwa teori gelombang klasik membuat beberapa ramalan yang tak dapat dibuktikan dalam praktek. Ia mengajukan bahwa cahaya datang dalam partikel-partikel diskret atau dalam "paket-paket" (kuanta). Situasinya menjadi lebih rumit lagi oleh adanya fakta bahwa percobaan-percobaan lain membuktikan hal-hal yang bertentangan. Dapatlah diperlihatkan bahwa sebuah elektron adalah sebuah partikel dengan menumburkannya pada layar fluorescent dan mengamati pendar yang dihasilkan oleh tumburan itu; atau dengan mengamati jalur yang dibentuk elektron dalam kamar gas; atau melalui titik-titik mini yang muncul dalam sebuah plat foto yang sudah dicuci. Di pihak lain, jika dua lubang dibuat di sebuah layar, dan elektron dialirkan melalui sebuah sumber tunggal, mereka akan membentuk pola interferensi, yang menunjukkan bahwa elektron memiliki sifat gelombang.
Hasil yang paling aneh justru didapat dalam percobaan celah-ganda yang terkenal itu, di mana sebuah elektron tunggal ditembakkan pada sebuah layar yang mengandung dua celah dan sebuah plat foto di belakangnya. Pada celah yang mana elektron tunggal itu akan lewat? Pola interferensi yang terbentuk pada plat foto di belakang celah itu jelas adalah pola yang hanya dapat dibentuk oleh dua celah. Hal ini membuktikan bahwa elektron melewati kedua celah itu sekaligus sehingga dapat membentuk sebuah pola interferensi. Ini tentunya bertentangan dengan hukum-hukum nalar-sehat, tapi percobaan ini tak dapat dibantah lagi kebenarannya. Sebuah elektron bersifat baik sebagai partikel maupun sebagai gelombang. Ia berada dalam dua (atau lebih) tempat sekaligus, dan dalam beberapa keadaan gerak sekaligus!
"Janganlah kita bayangkan," komentar Banesh Hoffmann, "bahwa para ilmuwan menerima penemuan baru ini dengan sorak kemenangan. Mereka menentang penemuan-penemuan ini dan menolaknya sejauh mereka dapat, menciptakan segala jenis jebakan dan hipotesis alternatif dalam sebuah upaya putus-asa untuk menyelamatkan diri dari keharusan menerima fakta itu sebagai kebenaran. Tapi paradoks itu telah hadir dengan menyolok sejak 1905 dalam kasus cahaya, dan bahkan lebih dulu lagi, dan tidak seorangpun memiliki keberanian atau kecerdikan untuk menyelesaikan persoalan ini sampai munculnya mekanika kuantum yang baru itu. Ide baru ini sangatlah sulit diterima karena kita terus secara insting berusaha membangun gambaran tentangnya dalam bentuk-bentuk partikel tradisional, dengan mengabaikan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Kita terus menghindar dari penggambaran sebuah elektron sebagai sesuatu yang, sembari memiliki gerak, mungkin tidak memiliki posisi, dan sembari memiliki posisi, mungkin tidak mengenal konsep gerak atau diam."
Di sini kita melihat bekerjanya negasi dari negasi. Pada pandangan pertama, kita kelihatannya telah menempuh satu lingkaran penuh. Teori partikel cahaya dari Newton telah dinegasi oleh teori gelombang Maxwell. Teori ini, pada gilirannya, dinegasi pula oleh teori partikel yang baru, yang dikemukakan oleh Planck dan Einstein. Tapi hal ini tidaklah berarti kembali pada teori Newtonian lama, tapi menempuh lompatan kualitatif ke depan, dengan melibatkan satu revolusi sejati dalam ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan harus dirombak total, termasuk hukum gravitasi Newton itu sendiri.
Revolusi ini tidaklah membuat persamaan Maxwell tidak berlaku lagi, persamaan itu tetap sahih untuk sejumlah besar operasi tentang medan. Yang ditunjukkan hanyalah, di luar batas tertentu, ide-ide fisika klasik tidak lagi berlaku. Gejala dunia partikel sub-atomik tidaklah dapat dipahami dengan metode-metode mekanika klasik. Di sini, ide-ide mekanika kuantum dan relativitas bermain penuh. Pada sebagian besar waktu di abad ini, fisika telah didominasi oleh teori relativitas dan mekanika kuantum yang, pada awalnya, ditolak mentah-mentah oleh orang-orang yang mendominasi ilmu pengetahuan, yang berpegangan erat-erat pada pandangan-pandangan lama. Ada pelajaran yang penting di sini. Upaya apapun untuk memaksakan satu "solusi final" terhadap pandangan kita atas alam raya ini pasti akan menemui kegagalan.
Mekanika Kuantum
Perkembangan fisika kuantum merupakan lompatan besar ke muka dalam ilmu pengetahuan, satu pemisahan yang menentukan dengan determinisme mekanik kuno dari fisika "klasik". (Metode "metafisik", adalah istilah yang gemar digunakan Engels untuk menggambarkannya.) Sebagai gantinya, kita mendapatkan satu pandangan atas alam yang lebih lentur dan dinamis - dengan kata lain, dialektik. Dimulai dengan penemuan Planck tentang keberadaan kuantum, yang pada awalnya terlihat sebagai sebuah rincian yang remeh, hampir seperti sebuah anekdot, seluruh wajah fisika mengalami perubahan. Di sini kita mendapati sebuah ilmu pengetahuan baru yang dapat menjelaskan gejala peluruhan radioaktif dan menelaah dengan sangat rinci data spektroskopi yang kompleks itu. Secara langsung hal itu membawa kita pada pendirian sebuah ilmu baru - kimia teoritik, yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang tadinya tak terpecahkan. Secara umum, serangkaian kesulitan teoritik tersingkirkan, setelah satu sudut pandangan baru diterima. Fisika baru telah mengungkap kekuatan maha dahsyat yang tersimpan dalam inti atom. Hal ini membawa kita langsung pada penyalahgunaan enerji nuklir - jalur yang penuh potensi pengrusakan atas kehidupan di muka bumi - atau justru pada masa depan yang sampai sekarang tak berani dibayangkan orang, dengan kelimpahan tanpa batas dan kemajuan sosial melalui penggunaan fusi nuklir secara damai. Teori relativitas Einstein menjelaskan bahwa massa dan enerji adalah dua hal yang setara. Jika massa sebuah objek diketahui, dengan mengalikannya pada kuadrat kecepatan cahaya, materi akan berubah menjadi enerji.
Einstein menunjukkan bahwa cahaya, yang sampai saat itu masih dianggap sebagai sebuah gelombang, berperilaku seperti sebuah partikel. Cahaya, dengan kata lain, adalah salah satu bentuk saja dari materi. Hal ini telah dibuktikan di tahun 1919, ketika ditunjukkan bahwa cahaya dibelokkan oleh gaya gravitasi. Louis de Broglie kemudian menunjukkan bahwa materi, yang dianggap hanya terdiri dari partikel, selalu memiliki pula sifat-sifat gelombang. Batasan antara materi dan enerji telah dihapuskan untuk selamanya. Materi dan enerji adalah ... sama. Ini adalah kemajuan raksasa dari ilmu pengetahuan. Dan dari sudut pandang Materialisme yang Dialektik, materi dan enerji adalah sama. Engels menggambarkan enerji ("gerak") sebagai "cara mengada, ciri internal, dari materi".
Argumen yang mendominasi fisika partikel selama bertahun-tahun, apakah partikel sub-atomik seperti foton dan elektron adalah partikel atau gelombang akhirnya diselesaikan oleh mekanika kuantum yang menegaskan bahwa partikel sub-atomik dapat, dan memang, berperilaku sebagai partikel dan gelombang sekaligus. Seperti sebuah gelombang, cahaya menghasilkan interferensi, tapi, sebuah foton cahaya juga dapat memantul ketika membentur sebuah elektron, berlaku seperti sebuah partikel. Hal ini bertentangan dengan logika formal. Bagaimana mungkin "nalar-sehat" menerima bahwa sebuah elektron dapat ada di dua tempat sekaligus? Atau bahkan bergerak, pada kecepatan yang tinggi tak terbayangkan, ke berbagai jurusan sekaligus? Cahaya yang berperilaku sebagai gelombang dan partikel sekaligus akan dilihat sebagai kontradiksi yang tak terselesaikan. Upaya untuk menjelaskan gejala kontradiktif dari dunia sub-atomik dengan cara-cara logika formal akan membawa kita meninggalkan pemikiran rasional sama sekali. Dalam kesimpulannya atas sebuah karya yang ditulis tentang revolusi kuantum, Banesh Hoffmann sanggup menulis:
"Berapa sering lagi kita harus mengagumi karya Tuhan yang luar biasa, yang menciptakan langit dan bumi dari sebuah hakikat primat dari sebuah rincian yang demikian indah sehingga dengannya Ia dapat menciptakan otak dan pikiran yang bernyala dengan berkah kemampuan meramal yang ilahiah untuk menerobos misteri ciptaan-Nya sendiri. Jika pikiran dari seorang Bohr atau Einstein membuat kita terkagum-kagum dengan kekuatannya, bagaimana kita mulai memuja keagungan Tuhan yang menciptakannya?"
Sayangnya, ini bukan satu contoh yang merupakan pengecualian. Sejumlah besar literatur modern tentang ilmu pengetahuan, termasuk banyak yang ditulis para ilmuwan itu sendiri, sangat kuat mengandung pandangan yang mistis, religius atau kuasi-religius semacam ini. Ini adalah hasil langsung dari filsafat idealis yang masih dipegang, sadar atau tidak sadar, oleh banyak sekali ilmuwan.
Hukum-hukum mekanika kuantum akan runtuh di hadapan "nalar-sehat" (yaitu, logika formal), tapi akan berkesesuaian benar dengan materialisme dialektik. Ambillah, misalnya, pandangan tentang sebuah titik. Seluruh geometri tradisional diturunkan dari satu titik, yang selanjutnya menjadi garis, bidang, kubus, dsb. Walau demikian, pengamatan yang lebih rinci menunjukkan bahwa sebuah titik tidaklah memiliki keberadaan mandiri.
Titik dipandang sebagai pernyataan ruang yang terkecil, sesuatu yang tidak memiliki dimensi. Pada kenyataannya, titik tersebut terdiri dari atom-atom - elektron, inti atom, foton, dan partikel-partikel lain yang lebih kecil lagi. Pada akhirnya, ia lenyap dalam sebuah flux gelombang kuantum yang tidak pernah berhenti bergetar. Dan tidak ada akhir bagi proses ini. Tidak ada "titik" yang dapat ditetapkan sama sekali. Inilah jawaban final bagi para idealis yang berusaha mencari "bentuk" sempurna yang katanya terdapat "di luar" realitas material yang dapat diamati. Satu-satunya "realitas puncak" adalah jagad material yang tidak berhingga, abadi, dan terus berubah, yang jauh lebih indah dalam segala variasi bentuk dan prosesnya yang tanpa henti ketimbang segala macam petualangan ajaib dari fiksi ilmiah. Bukannya satu lokasi yang dapat ditentukan - satu "titik" - tapi sebuah proses, sebuah flux yang tanpa henti. Segala upaya untuk memaksakan batasan bagi hal ini, dalam bentuk awal atau akhir, pasti akan menemui kegagalan.
Melenyapnya Materi?
Jauh sebelum ditemukannya relativitas, ilmu pengetahuan telah menemukan dua prinsip dasar - kekekalan enerji dan kekekalan massa. Hukum yang pertama ditemukan oleh Leibniz di abad ke-17, dan kemudian dikembangkan di abad ke-19 sebagai sebuah hasil dari prinsip-prinsip mekanika. Jauh sebelum itu, manusia jaman purba telah menemukan secara praktek prinsip kesetaraan antara kerja dan panas, ketika ia membuat api melalui gesekan, dengan demikian mengubah sejumlah tertentu enerji (kerja) menjadi panas. Pada awal abad ini, ditemukan bahwa massa hanyalah salah satu bentuk enerji. Satu partikel materi bukan lain adalah enerji, yang sangat terkonsentrasi dan terlokalisasi. Jumlah enerji yang terkonsentrasi dalam sebuah partikel berbanding lurus dengan massanya, dan jumlah total enerji adalah selalu tetap. Hilangnya sejumlah enerji tertentu akan selalu diimbangi dengan didapatnya sejumlah enerji dalam bentuk lain. Sambil terus mengubah bentuknya, bagaimanapun, enerji akan tetap sama selamanya.
Revolusi yang disebabkan oleh Einstein adalah satu pembuktian bahwa massa itu sendiri mengandung jumlah enerji yang luar biasa. Kesetaraan massa dan enerji dinyatakan dalam persamaan E = mc² di mana c melambangkan kecepatan cahaya (sekitar 186.000 mil per detik atau 300.000 km per detik), E adalah enerji yang terkandung dalam sebuah benda diam, dan m adalah massanya. Enerji yang terkandung dalam massa m adalah setara dengan massa ini yang dikalikan kuadrat dari kecepatan cahaya yang luar biasa besar itu. Dengan demikian, massa adalah bentuk enerji yang teramat terkonsentrasi, kekuatan yang boleh digambarkan oleh fakta bahwa enerji yang dilepaskan dalam sebuah ledakan atom dihasilkan ketika hanya 10ari massanya diubah menjadi enerji. Biasanya, enerji raksasa yang terkunci dalam materi ini tidak mewujud, dan dengan demikian tidak diperhatikan oleh manusia. Tapi jika proses di dalam inti atom mencapai satu titik kritis, sebagian enerji akan dilepaskan, sebagai enerji kinetik.
Karena massa hanyalah salah satu bentuk enerji, baik materi maupun enerji tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan. Bentuk-bentuk enerji, di pihak lain, sangatlah beragam. Sebagai contoh, ketika proton di permukaan matahari bersatu untuk membentuk inti atom helium, enerji nuklir dilepaskan. Pertama-tama ini mungkin nampak sebagai enerji kinetik dari gerak inti atom, yang kemudian memberi sumbangan pada enerji panas yang dilepaskan matahari. Sebagian enerji ini dipancarkan dari matahari dalam bentuk foton, mengandung partikel-partikel enerji elektromagnetik. Partikel-partikel ini, pada gilirannya, diubah oleh proses fotosintesis menjadi enerji kimia potensial yang tersimpan dalam tumbuhan, yang pada giliran selanjutnya, diserap oleh manusia dengan memakan tanaman, atau hewan yang hidup dari memakan tanaman, untuk menyediakan kehangatan dan enerji bagi otot, aliran darah, otak, dan lain-lain.
Hukum-hukum fisika klasik secara umum tak dapat diterapkan pada tingkat sub-atomik. Walau demikian, terdapatlah satu hukum yang tidak mengenal pengecualian di alam - hukum kekekalan enerji. Para fisikawan tahu bahwa baik muatan positif maupun negatif tidaklah dapat diciptakan dari sebuah ketiadaan. Fakta ini dinyatakan dalam hukum kekekalan muatan listrik. Dengan demikian, dalam proses untuk menghasilkan partikel beta, lenyapnya neutron (yang tidak bermuatan) menimbulkan sepasang partikel yang muatannya berlawanan - proton yang bermuatan positif dan elektron yang bermuatan negatif. Bersama-sama, kedua partikel baru itu memiliki muatan gabungan setara dengan nol.
Jika kita melakukan proses kebalikannya, ketika sebuah proton memancarkan sebuah positron dan berubah menjadi neutron, muatan dari partikel asli (proton) adalah positif dan partikel yang dihasilkan (neutron dan posittron), bersama-sama, juga bermuatan positif. Dalam seluruh perubahan yang beraneka ragam ini, hukum kekekalan muatan dipatuhi secara ketat, seperti halnya hukum-hukum kekekalan yang lain. Tidak secuilpun enerji yang diciptakan atau dihancurkan. Dan gejala semacam itu juga tidak akan pernah terjadi.
Ketika sebuah elektron dan anti-partikelnya, positron, saling menghancurkan, massa mereka "hilang", yaitu, diubah menjadi dua partikel cahaya (foton) yang terbang berhamburan ke arah yang berlawanan. Walau demikian, keduanya memiliki enerji total yang sama dengan kedua partikel yang telah bersatu untuk menghasilkan mereka. Kesetaraan massa-enerji, momentum linear dan muatan listrik dipelihara dengan ketat. Gejala ini sama sekali tidak sama dengan pelenyapan dalam makna penghancuran. Secara dialektik, elektron dan positron dinegasi dan dipelihara pada saat bersamaan. Materi dan enerji (yang hanya merupakan dua cara untuk menyatakan hal yang sama) tidak akan pernah dapat diciptakan maupun dihancurkan, hanya diubah.
Dari sudut pandang materialisme dialektik, materi adalah realitas objektif yang diberikan kepada kita dalam persepsi-inderawi. Ini mencakup bukan saja objek yang "solid" melainkan juga cahaya. Foton adalah sama materialnya dengan elektron atau positron. Massa terus-menerus diubah menjadi enerji (termasuk cahaya - foton) dan enerji menjadi massa. "Penghancuran" sebuah positron dan elektron menghasilkan sepasang foton, tapi kita juga melihat proses yang kebalikannya: ketika dua foton bertemu, sebuah elektron dan sebuah positron dapat dihasilkan, asalkan foton itu mengandung enerji yang cukup. Hal ini kadangkala disajikan pada kita dalam konsep penciptaan materi "dari ketiadaan". Tidak ada hal semacam itu. Apa yang kita lihat di sini bukanlah penghancuran maupun penciptaan apapun, tapi satu peralihan yang terus-menerus dari materi menjadi enerji dan sebaliknya. Ketika sebuah foton menghantam inti atom, ia berhenti mengada sebagai sebuah foton. Ia hilang, tapi menyebabkan satu perubahan di dalam atom - sebuah elektron meloncat dari satu orbit yang lebih rendah ke orbit lain yang lebih tinggi tingkatan enerjinya. Di sini juga proses yang kebalikannya terjadi. Ketika sebuah elektron melompat ke orbit yang berenerji lebih rendah, sebuah foton muncul.
Proses perubahan yang terus-menerus ini, yang mencirikan dunia di tingkat sub-atomik adalah sebuah pembenaran yang dahsyat terhadap fakta bahwa dialektika bukanlah sekedar reka-reka subjektif, tapi sungguh-sungguh terhubung dengan proses objektif yang terjadi secara alamiah. Proses ini telah berjalan tanpa terputus sepanjang segala abad. Ia adalah pembuktian kongkrit dari tidak dapat dihancurkannya materi - persis kebalikan dari apa yang tadinya hendak dibuktikan oleh para idealis.
"Batu Penyusun Materi"?
Telah beabad-abad para ilmuwan berusaha dengan sia-sia untuk menemukan "batu penyusun materi" - partikel pamungkas yang terkecil. Seratus tahun yang lalu, mereka pikir mereka telah menemukannya dalam bentuk atom (yang, dalam bahasa Yunani, berarti "sesuatu yang tak dapat dibagi lagi"). Penemuan partikel-partikel sub-atomik memaksa fisika untuk merambah lebih dalam ke dalam struktur materi. Di tahun 1928, para ilmuwan berkhayal bahwa mereka telah menemukan partikel-partikel yang terkecil - proton, elektron dan foton. Seluruh dunia material dianggap tersusun dari ketiga partikel ini. Selanjutnya, ini juga diruntuhkan oleh penemuan neutron, positron, deuteron, dan serombongan partikel lain, yang semakin kecil, dengan keberadaan yang semakin sekejap - neutrino, pi-meson, mu-meson, k-meson, dan banyak lagi yang lain. Umur dari beberapa partikel ini sangat kecil - mungkin sepersejuta detik - sehingga mereka digambarkan sebagai "partikel virtual" - sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan sebelum datangnya jaman kuantum.
Tauon berumur hanya seperbilyun detik, sebelum luruh menjadi muon, dan kemudian menjadi elektron. Pion yang netral lebih pendek lagi masa hidupnya, luruh dalam waktu kurang dari sepertrilyun detik untuk membentuk sepasang partikel sinar gamma. Walau demikian, partikel-partikel gamma ini hidup sampai usia lanjut, dibandingkan dengan yang lain-lain yang hanya hidup selama seperseratus mikrodetik. Beberapa yang lain, seperti partikel sigma yang netral, luruh setelah seper seratus milyar detik. Di tahun 1960-an, bahkan hal ini masih dikalahkan oleh penemuan partikel yang lebih pendek lagi masa hidupnya sehingga keberadaannya hanya dapat disimpulkan dari keharusan mereka untuk meluruh agar terbentuk beberapa partikel turunan yang telah diketahui. Masa paro-hidup dari partikel-partikel ini berada di kisaran seper beberapa trilyun detik. Mereka dikenal sebagai partikel resonan. Dan inipun belum lagi akhir ceritanya.
Lebih dari seratus limapuluh partikel lain ditemukan kemudian, yang kemudian dikenal sebagai hadron. Situasinya demikian ruwet. Seorang fisikawan Amerika, Dr. Murray Gell-Mann, dalam upayanya untuk menjelaskan struktur partikel-partikel sub-atomik, telah mempostulatkan beberapa partikel yang lain lagi, yang lebih mendasar, quark, yang lagi-lagi dicanangkan sebagai "batu penyusun materi yang pamungkas". Gell-Mann berteori bahwa terdapat enam jenis quark dan bahwa keluarga quark adalah paralel dengan keenam anggota keluarga partikel yang lebih ringan, yang disebut lepton. Semua materi kini dianggap terdiri dari duabelas partikel penyusun. Namun, bahkan bentuk materi paling dasar yang dikenal ilmu pengetahuan ini masih juga mengandung kualitas kontradiktif yang sama dengan apa yang kita amati di seluruh jagad raya, bersesuaian dengan hukum dialektik tentang kesatuan dari hal-hal yang bertentangan. Quark juga hadir dalam pasangan-pasangan, dengan muatan postitif dan negatif, sekalipun, dengan anehnya, dinyatakan dalam pecahan.
Sekalipun ada fakta bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa tidak ada batasan bagi materi, para ilmuwan terus berkeras melancarkan pencarian sia-sia terhadap "batu penyusun materi". Benar bahwa pernyataan itu hanyalah penemuan sensasional dari para jurnalis dan para ilmuwan yang terobsesi dengan kemungkinan promosi, dan bahwa pencarian partikel yang semakin lama semakin kecil dan mendasar adalah kegiatan ilmiah yang sangat bona-fide, yang berguna untuk memperdalam pengetahuan kita tentang cara bekerjanya alam raya ini. Tapi, walau demikian, kita tentu mendapatkan kesan bahwa sedikitnya beberapa dari mereka benar-benar percaya bahwa mungkin bagi kita untuk mencapai satu bentuk realitas yang pamungkas, yang merupakan batasan di mana di luar itu tidak ada lagi sesuatupun yang dapat ditemukan, setidaknya di tingkat sub-atomik.
Quark kini dianggap sebagai yang pamungkas dari keduabelas "batu penyusun" sub-atomik yang katanya menyusun segala materi di jagad raya. "Hal yang menarik adalah bahwa inilah potongan materi yang terakhir yang akan pernah kita kenal, seperti yang diramalkan oleh kosmologi dan Model Standard dari fisika partikel, Dr. David Schramm dilaporkan berujar, 'Inilah potongan teka-teki yang terakhir itu.'"[iv] Jadi, quark adalah "partikel pamungkas". Ia disebut fundamental dan tidak memiliki struktur lagi di dalamnya. Tapi hal yang sama telah pula diramalkan di masa lalu untuk atom, lalu proton, dan sebagainya dan seterusnya. Dengan cara yang sama, kita dapat dengan yakin meramalkan penemuan bentuk-bentuk yang lebih "fundamental" lagi dari materi di masa depan. Fakta bahwa keadaan pengetahuan dan teknologi kita yang sekarang tidaklah mengijinkan kita untuk menentukan sifat-sifat quark tidaklah kemudian mewajibkan kita untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki struktur lagi di dalamnya. Sifat dan ciri quark masih harus menunggu telaah lebih lanjut, dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa hal ini tidak akan mungkin tercapai, bahwa mustahil bagi kita untuk merambah ke kedalaman struktur materi yang tidak berujung. Inilah cara yang selalu ditempuh ilmu pengetahuan dalam kemajuannya. Halangan yang tadinya dianggap mustahil dipecahkan oleh satu generasi dijungkirkan oleh generasi berikutnya, dan demikian seterusnya sepanjang jaman. Seluruh pengalaman lampau kita memberi segala alasan untuk percaya bahwa proses dialektikal atas kemajuan pengetahuan manusia ini adalah sama tak berujungnya seperti jagad raya itu sendiri.

Closing
A fresh start for science
What is largely beyond question, and is of primary importance to the journey described in my book The Elegant Universe, is that even if one accepts the debatable reasoning of the staunch reductions, principle is one thing and practice quite another. Almost everyone agrees that finding the T.O.E. would in no way mean that psychology, biology, geology, chemistry, or even physics had been solved or in some sense subsumed. The universe is such a wonderfully rich and complex place that the discovery of the final theory, in the sense we are describing here, would not spell the end of science.
Quite the contrary: The discovery of the T.O.E.—the ultimate explanation of the universe at its most microscopic level, a theory that does not rely on any deeper explanation—would provide the firmest foundation on which to build our understanding of the world. Its discovery would mark a beginning, not an end. The ultimate theory would provide an unshakable pillar of coherence forever assuring us that the universe is a comprehensible place.
References:
John D. Barrow, Theories of Everything: The Quest for Ultimate Explanation (OUP, Oxford, 1990) ISBN 0-099-98380-X
Stephen Hawking The Theory of Everything: The Origin and Fate of the Universe is an unauthorized 2002 book taken from recorded lectures (ISBN 1-893224-79-1)
Terimakasih kepada Blog Bianglala dan Brian Greene (a Professor at Columbia University) The Author of
The Elegant Universe: Superstrings, Hidden Dimensions, and the Quest for the Ultimate Theory (ISBN 0-375-70811-1) is a book by Brian Greene published in 1999 which introduces string theory and provides a comprehensive though non-technical assessment of the theory and some of its shortcomings.